Kronologis Kuda Legendaris Bukittinggi Fort de Kock Hill Mati, Penggemar Kuda Pacu Berduka

Wahyu Sikumbang
Petugas Puskeswan, mantan Wali Kota Bukittinggi Djufri, dan sejumlah peternak tampak berduka saat menyaksikan jasad kuda pejantan legendaris Fort de Kock Hill yang terbujur kaku di halaman Puskeswan. Foto: Wahyu Sikumbang

BUKITTINGGI, iNewsPadang.id — Suasana duka menyelimuti kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Seekor kuda pejantan legendaris bernama Fort de Kock Hill menghembuskan napas terakhirnya pada Kamis (10/7/2025) sekitar pukul 11.30 WIB.

Kepergian kuda yang telah menjadi kebanggaan daerah ini meninggalkan kesedihan mendalam, terutama bagi para petugas yang merawatnya sejak awal.

Fort de Kock Hill adalah kuda pejantan unggulan asal Australia yang dibeli oleh Pemerintah Kota Bukittinggi melalui APBD pada tahun 2008, saat kuda itu masih berusia dua tahun.

Kini, setelah 17 tahun hidup di Bukittinggi dan memberi kontribusi besar bagi pengembangan kualitas kuda pacuan, Fort de Kock Hill tutup usia di umur 19 tahun.

“Kami di Puskeswan banyak yang menangis. Kuda ini sudah kami anggap seperti anak sendiri,” ujar Surya Guswandi, petugas Puskeswan yang dikenal sebagai ‘anak kandang’.

Menurut Surya, Fort de Kock Hill bukan sekadar kuda, tetapi sumber harapan bagi peternak kuda dan kusir bendi di Sumatera Barat. “Dengan adanya kuda ini, peternak dari berbagai daerah datang mengawinkan kuda mereka ke sini. Biayanya jauh lebih murah dibandingkan kawin silang dengan pejantan milik swasta. Kalau Fort de Kock Hill ini dikalkulasikan sekarang, nilainya mencapai Rp2,5 miliar,” ungkapnya.

Ia juga menyebutkan salah satu anak Fort de Kock Hill, Romantic Spartan, saat ini berumur tiga tahun dan sedang berlaga di arena pacuan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kota Bukittinggi, Hendry, menyampaikan bahwa penyebab pasti kematian Fort de Kock Hill masih belum bisa dipastikan.

“Di kakinya memang ada sakit sedikit. Tadi juga sempat reaktif, semacam melompat lalu pingsan. Sudah dicoba diinfus dan diperiksa, ternyata dia sudah mati,” jelas Hendry.


Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kota Bukittinggi, Hendry, menjelaskan kronologis kematian kuda Fort de Kock Hill di UPTD Puskeswan. Foto: Wahyu Sikumbang

Beberapa bagian tubuh kuda tersebut akan diambil untuk pemeriksaan laboratorium, dan jenazahnya akan dikuburkan di area Puskeswan, Jalan Pandan Banyak, Komplek Kehakiman III, Talao, Bukittinggi.

Selama hidupnya, Fort de Kock Hill telah memberi banyak kontribusi dalam pembibitan kuda. Biaya kawin dengan kuda ini tergolong murah, mulai dari Rp700.000 hingga Rp3 juta, tergantung grade. “Kalau pakai pejantan swasta, bisa sampai Rp6 juta sampai Rp7 juta. Jadi, manfaatnya besar sekali, apalagi bagi kusir bendi dan peternak kecil,” imbuh Hendry.

Mantan Wali Kota Bukittinggi, Drs. Djufri, yang menjabat saat pengadaan Fort de Kock Hill, mengungkapkan rasa kehilangan yang sama.

“Kuda ini kami beli karena punya genetik Celeb Grade dari Australia, sangat superior. Anaknya sudah banyak juara di level nasional,” kata Djufri. Ia menambahkan bahwa kehadiran Fort de Kock Hill telah membantu peningkatan kualitas genetik kuda lokal menjadi grade 1 hingga grade 4.

“Kuda umur delapan bulan saja bisa bernilai Rp70 juta jika berasal dari silsilah ini. Sementara kuda lokal paling hanya sekitar Rp30 juta,” ujarnya.


Fort de Kock Hill, kuda asal Australia yang telah menjadi bagian dari sejarah Bukittinggi sejak dibeli pada 2008. Keberadaannya berdampak pada kualitas genetik kuda pacuan, meningkatkan kelas dan prestasi. Foto: Istimewa

Sebagai bentuk kelanjutan program, Wali Kota Bukittinggi saat ini, Ramlan Nurmatias, menyatakan pihaknya berencana mendatangkan kuda pejantan baru dari luar negeri sebagai pengganti Fort de Kock Hill.

“Kami masih menunggu laporan lengkap soal penyebab kematian, tapi sudah ada rencana mendatangkan pejantan baru, mungkin dari Australia lagi. Tentu akan kita sesuaikan dengan kemampuan anggaran atau mencoba mengupayakan bantuan dari pusat,” kata Ramlan.

Kepergian Fort de Kock Hill bukan hanya kehilangan secara emosional bagi mereka yang merawatnya, tetapi juga kehilangan simbol kemajuan pembibitan kuda di Sumatera Barat.

Meski telah tiada, warisan genetiknya dan jejak prestasinya akan terus hidup dalam anak-anaknya yang kini berlaga di gelanggang pacuan tanah air. (*)

Editor : Wahyu Sikumbang

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network