Diperiksa di Ruang VIP, Jokowi Bukan Pejabat Pertama yang Tak Hadir ke Ruang Penyidikan

BUKITTINGGI, iNewsPadang.id – Pemeriksaan terhadap Presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), oleh penyidik kepolisian pada Rabu, 23 Juli 2025, menjadi sorotan publik.
Pemeriksaan yang berlangsung di Markas Polresta Solo, Jawa Tengah, itu menuai perhatian luas, bukan hanya karena melibatkan seorang mantan kepala negara, tetapi juga karena tempat pelaksanaannya yang tidak biasa.
Alih-alih menjalani pemeriksaan di ruang penyidikan sebagaimana lazimnya, Jokowi diperiksa di sebuah ruangan khusus di lantai dua Polresta Solo.
Ruangan tersebut selama ini diketahui digunakan untuk menerima tamu-tamu penting. Kehadiran tim kuasa hukum mendampingi Jokowi dalam pemeriksaan tersebut menambah dimensi formalitas, namun publik bertanya-tanya: mengapa pemeriksaan tidak dilakukan di ruang penyidikan sebagaimana prosedur umum?
Fenomena ini mengingatkan pada kejadian serupa yang pernah terjadi di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Waktu itu, Wali Kota Bukittinggi ke-22, Erman Safar, diperiksa penyidik polisi di rumah dinas wali kota, kawasan Belakang Balok, bukan di kantor kepolisian.
Kasus yang menjeratnya adalah laporan dugaan pencemaran nama baik setelah ia diduga menuding sebuah keluarga melakukan perbuatan inses.
Laporan itu dibuat oleh pihak keluarga yang merasa terfitnah atas tudingan tersebut. Didampingi penasihat hukumnya, mereka melaporkan wali kota aktif ke pihak berwajib.
Namun, yang mengejutkan, proses pemeriksaan terhadap terlapor tidak dilakukan di kantor polisi, melainkan di rumah dinas wali kota.
“Saya pernah bertanya, kenapa harus di rumah? Kenapa nggak dipanggil ke sini (kantor polisi)? Jawabannya karena beliau ini pejabat publik. Nah, itu jawaban yang saya terima,” ungkap penasihat hukum korban, Ade Muhammad Firman, S.H., M.H., saat diwawancarai, Sabtu (26/7).
Ia menambahkan bahwa hingga kini tidak ada bukti kuat yang mendukung tuduhan inses tersebut. “Yang kami laporkan waktu itu wali kota. Aturan dari mana, itu kita tidak paham, karena sudah ranahnya penyidik. Tapi jawaban yang kami terima begitu: karena pejabat publik, maka penyidik datang ke tempatnya.”
Kedua peristiwa ini memperlihatkan pola serupa: pejabat publik yang diperiksa dalam kasus hukum, namun mendapatkan perlakuan berbeda dari masyarakat kebanyakan.
Muncul pertanyaan: apakah jabatan publik otomatis memberikan keistimewaan dalam perlakuan hukum? Apakah keadilan memang hadir setara bagi semua?
Perlakuan khusus seperti ini memantik diskursus tentang transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam penegakan hukum.
Jika prosedur hukum dapat dinegosiasikan karena status sosial atau jabatan, maka prinsip “equality before the law” terancam sekadar menjadi slogan.
Editor : Wahyu Sikumbang