AGAM, iNEWSPadang.ID — Kasus Nur Amira, seorang ibu asal Payakumbuh yang terancam kembali dideportasi ke Malaysia, memasuki babak baru. Setelah kisah haru anaknya Zahira yang menulis surat terbuka viral dan menggugah banyak pihak, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat akhirnya turun tangan.
Rabu, 1 Oktober 2025, rombongan Ombudsman yang dipimpin Kepala Perwakilan Adel Wahidi mendatangi Kantor Imigrasi Agam. Mereka menemui langsung Nur Amira di ruang detensi sekaligus berdialog dengan Kepala Kantor Imigrasi Agam.
“Waktu itu kami belum bertemu dengan Nur Amira, makanya hari ini kami mencoba untuk bertemu, mengkonfirmasi lagi keterangan-keterangan dari imigrasi,” ujar Adel Wahidi.
Adel menjelaskan, kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari laporan yang diterima pihaknya. Ombudsman Sumbar mendapatkan pengaduan dari Zahira, anak Nur Amira yang baru berusia 15 tahun, terkait dugaan penyimpangan prosedur dalam penetapan status detensi ibunya.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat, Adel Wahidi, saat mendatangi Kantor Imigrasi Agam untuk bertemu langsung dengan Nur Amira dan berdialog dengan pihak imigrasi terkait proses deportasi, Rabu (1/10). Foto: Wahyu Sikumbang
Ombudsman juga ingin memastikan hak-hak Nur Amira selama ditahan, serta masa depan Zahira yang berpotensi terlantar jika ibunya benar-benar dideportasi.
“Kami juga akan bertemu dengan Bupati Limapuluh Kota untuk memastikan layanan dan hak-hak untuk Zahira, karena kalau ibunya dideportasi tentu dia berpotensi terlantar,” tambah Adel.
Dari sisi administrasi, Imigrasi Agam menegaskan bahwa proses terhadap Nur Amira berjalan sesuai prosedur. Mereka meyakini Nur Amira adalah warga negara Malaysia yang datang ke Indonesia pada 1996 dengan paspor sementara, kemudian tinggal hingga puluhan tahun tanpa status legal.
“Perlakuan terhadap Nur Amira yang ketahuan sebagai warga negara asing tentu prosedurnya sesuai dengan prosedur terhadap warga negara asing,” kata Adel usai mendengar keterangan imigrasi.
Namun, Ombudsman menilai kasus ini juga membuka tabir masa kelam layanan publik Indonesia pada era 2000-an. Bagaimana mungkin seseorang yang statusnya warga negara asing bisa mendapatkan KTP, menikah, bahkan mengurus perceraian di pengadilan.
“Ya, bayangkan ada orang yang tinggal di Indonesia puluhan tahun yang ternyata warga negara asing dan bisa mengurus segala sesuatu administrasi kependudukannya. Ini problem administrasi yang sebetulnya sudah sangat kacau,” ungkap Adel.
Kilas balik kasus ini, Nur Amira lahir di Malaysia dan sempat memiliki paspor negara jiran pada 1996. Namun sejak kecil ia dibawa ibunya ke Payakumbuh, tumbuh dan menetap di sana selama hampir 30 tahun.
Tahun lalu, ia dideportasi ke Malaysia. Tetapi setibanya di sana, identitasnya tidak ditemukan dalam sistem negara tersebut. Nur Amira ditahan dua bulan di Penjara Kajang sebelum akhirnya dipulangkan lagi ke Indonesia dengan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dari KJRI Johor Bahru. Setelah sempat kembali berkumpul dengan anaknya, ia kembali ditahan oleh Imigrasi Agam karena dokumen SPLP dinyatakan batal.
Kini, nasib Nur Amira berada di ujung tanduk. Malaysia menolak mengakui identitasnya, sementara Indonesia menganggapnya tidak sah tinggal selama tiga dekade terakhir.
Di tengah tolak-menolak status kewarganegaraan ini, Zahira hanya bisa berpegang pada harapan. Dalam suratnya yang menyentuh, ia menulis, “Kalau Ibu saya dideportasi lagi saya akan terlantar dan masa depan saya akan hancur.”
Kehadiran Ombudsman diharapkan bisa membuka jalan keluar yang lebih manusiawi. Bukan hanya soal aturan imigrasi, tetapi juga tentang hak seorang anak untuk tumbuh bersama ibunya.
Editor : Wahyu Sikumbang
Artikel Terkait
