Hotel Nakal di Tengah Kota Bukittinggi: Melanggar Izin, Merusak, dan Ancam Keselamatan Warga
Majelis hakim dalam putusannya menghukum AR dan RS membayar ganti rugi materiil sebesar Rp27,8 juta. Namun, hingga kini pembangunan hotel masih berlanjut.
Padahal, hasil analisis tim ahli menunjukkan proses konstruksi di sempadan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan ketentuan teknis bangunan tahan gempa.

“Pembangunan ini sudah jelas menyimpang dari izin dan mengabaikan aspek keselamatan. Bukittinggi itu daerah rawan gempa. Kalau diteruskan, resikonya sangat besar bagi penghuni dan warga sekitar,” ujar seorang sumber dari tim pemeriksa bangunan kepada warga sekitar.
Warga sekitar juga telah mengajukan keberatan sejak awal pembangunan pada 2017 karena tidak pernah memberikan izin merapat sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung.
Pasal 106 ayat (6) menegaskan, bangunan yang menempel di sisi samping wajib disertai surat pernyataan dari pemilik tanah tetangga yang menyatakan tidak keberatan. Fakta persidangan menunjukkan dokumen tersebut tidak pernah ada.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran serius di tengah maraknya kasus kegagalan struktur bangunan di berbagai daerah.
Tragedi runtuhnya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, pada 29 September 2025 lalu yang menewaskan sejumlah santri, menjadi pengingat penting tentang lemahnya pengawasan bangunan.
Masyarakat dan sejumlah pemerhati tata ruang kini berharap Wali Kota Bukittinggi untuk bertindak tegas dengan menyegel lokasi dan membekukan izin IMB Hotel P.
Langkah itu dinilai penting untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan menjaga keselamatan publik di kawasan padat tersebut.
Editor : Wahyu Sikumbang