Menurut Taufik Dt. Nan Laweh, tanah tersebut dulunya merupakan sawah paduan yang dipegang oleh Pangulu Pucuak Dt. Bagindo dan merupakan tanah ulayat masyarakat adat Kurai. Saat ini, lahan itu telah berubah menjadi permukiman yang sebagian disewakan kepada warga.
“Kalau pun ada pihak yang mengklaim tanah ini, kami siap untuk melakukan mediasi atau negosiasi secara adat maupun hukum,” tegasnya.
Kedua tokoh adat diatas tidak menampik bahwa di atas lahan tersebut telah berdiri sejumlah bangunan yang disewakan. "Namun, kami belum dan tidak akan menggusur bangunan tersebut sebelum ada kepastian serta tanggung jawab dari pihak yang melakukan pengkaplingan," tambah Dt. Nan Laweh.
Sementara itu, Nadia (36), salah seorang warga penyewa lahan di lokasi tersebut, mengaku cemas dan khawatir dengan isu penjualan tanah tempat tinggalnya.
“Kami di sini sudah puluhan tahun. Tiba-tiba tanah ini dikabarkan akan dijual dalam bentuk kaplingan. Kami takut harus mengosongkan rumah,” katanya.
Warga melaporkan keresahan karena diminta mengosongkan rumah. (Foto: Wahyu Skb)
Nadia mengaku telah membayar uang sewa tanah setiap tahun sejak 1980. "Kami rata-rata membayar Rp500.000 per tahun. Ada sekitar 10 unit bangunan di atas lahan ini. Setiap bulan April, ada yang datang melakukan penagihan," kata Nadia bersama sejumlah penyewa rumah lainnya, sambil menambahkan bahwa setelah isu pengkaplingan lahan mencuat, tidak ada lagi yang datang. "Untuk sewa tahun 2025, kami tidak ditagih lagi," imbuh penyewa.
Editor : Wahyu Sikumbang
Artikel Terkait