Bantuan sembako bernilai Rp200.000 per bulan, sementara PKH bervariasi tergantung komponen keluarga penerima seperti ibu hamil, anak sekolah, lansia, dan penyandang disabilitas.
Secara historis, bantuan pangan ini pernah dikenal sebagai raskin atau rastra, yang dikritik karena rawan penyelewengan distribusi. Kini, transformasi menjadi program sembako berbasis rekening bank dimaksudkan agar bantuan langsung diterima oleh penerima manfaat tanpa potongan atau manipulasi di lapangan.
Namun, digitalisasi tanpa literasi hanya memindahkan masalah dari meja distribusi ke layar mesin ATM. Pemerintah yang ingin sistem ini efektif, maka pendampingan digital harus menjadi bagian dari kebijakan, bukan tambahan sukarela.
Pendistribusian KKS di Bukittinggi menjadi cermin dilema kebijakan sosial modern: di satu sisi menuntut akurasi dan keadilan berbasis data, di sisi lain menghadapi kesenjangan literasi dan kepercayaan publik di akar rumput.
Pemerintah kini berharap bantuan yang telah tersalurkan dengan baik dan penerimanya mampu memanfaatkannya dengan bermartabat.
Editor : Wahyu Sikumbang
Artikel Terkait