Dalam aturan adat yang baru, setiap orang dilarang menembak, memikat, atau berburu burung apa pun di wilayah Nagari Lasi.
Penebangan pohon juga dibatasi, hanya dapat dilakukan dengan izin niniak mamak dan kewajiban menanam pohon pengganti. Sementara setiap calon pengantin diwajibkan menanam dua pohon, yang disebut “kacio keluarga” atau tabungan lingkungan keluarga.
Bagi pelanggar, sanksi adat telah ditetapkan. Warga luar Nagari Lasi yang kedapatan berburu burung akan dikenai denda satu emas atau sama dengan 2,5 gram emas murni 24 karat. Sementara warga setempat akan dikenai sanksi berupa penyitaan peralatan dan pemanggilan mamak nya serta burung hasil tangkapan untuk kemudian dilepaskan kembali ke alam.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Sumbar, Antonius Vevri, menilai langkah masyarakat Lasi sebagai contoh luar biasa dari inisiatif berbasis kearifan lokal.
“Biasanya kami yang mendorong masyarakat untuk melakukan konservasi. Tapi kali ini, masyarakat adat justru menjadi pelopor. Ini sangat positif dan patut ditiru daerah lain,” ujarnya.
Senada dengan itu, Staf Ahli Bupati Agam, Taslim, menyampaikan dukungan penuh dari pemerintah daerah. Sementara akademisi dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Indang Dewata, menilai gerakan ini sebagai contoh nyata bagaimana kearifan lokal bisa menjadi solusi efektif untuk mengatasi krisis lingkungan.
“Inisiatif dari Nagari Lasi ini adalah yang pertama di Sumatera Barat. Saya berharap nagari lain dapat mengadopsinya,” ujarnya.
Editor : Wahyu Sikumbang
Artikel Terkait