AGAM, iNEWSPadang.ID — Payakumbuh kembali diwarnai kisah haru terkait deportasi seorang warga bernama Nur Amira (37), perempuan asal Situjuah yang sejak kecil hidup di Sumatera Barat.
Meski lahir di Malaysia dan sempat memiliki paspor negara tersebut pada 1996, ia dibawa ibunya ke Indonesia ketika masih anak-anak, tumbuh besar di Payakumbuh, menikah secara sah dengan warga lokal, dan memiliki seorang anak bernama Zahira (15).
Namun nasibnya berubah pahit. Saat berusaha mengurus dokumen di Malaysia tahun lalu, identitasnya dinyatakan tidak ada dalam sistem karena sudah 30 tahun ia meninggalkan negeri jiran.
Ia bahkan ditahan dua bulan di Penjara Kajang, lalu dipulangkan ke Indonesia dengan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dari Konsulat Jenderal RI Johor Bahru.
Paspor Nur Amira, simbol identitas yang dipertaruhkan. Satu lembar dokumen ini menentukan apakah seorang anak remaja akan tumbuh bersama ibunya atau sendirian. Foto: Istimewa
Selama lima bulan terakhir, Nur Amira kembali hidup bersama anaknya di Payakumbuh. Tetapi kasusnya berlanjut. Imigrasi Agam menahan SPLP tersebut, menyebut dokumen harus diverifikasi.
Akhirnya, SPLP dinyatakan batal oleh KJRI Johor Bahru, dan Nur Amira kembali ditahan di ruang detensi. Kini, ia terancam kembali dideportasi ke Malaysia, sementara anaknya masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Zahira, yang duduk di bangku SMPN 1 Situjuah Limo Nagari, tak kuasa menahan kesedihan. Ia menuliskan surat terbuka kepada Imigrasi Agam, berharap ibunya tidak dipulangkan ke Malaysia.
“Saya sangat membutuhkan Ibu saya, karena hanya beliau yang sejak lahir membesarkan saya seorang diri. Kalau Ibu saya dideportasi lagi, saya akan terlantar dan masa depan saya akan hancur,” tulis Zahira dengan nada pilu.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan publik. Di satu sisi, aturan imigrasi mengikat. Namun di sisi lain, aspek kemanusiaan dan hak anak patut dipertimbangkan.
Zahira masih sekolah, tidak memiliki ayah yang bertanggung jawab, dan hanya bergantung pada ibunya.
Harapannya kini tertuju pada kebijakan pemerintah dan sistem yang baik agar Nur Amira tetap diizinkan tinggal di Indonesia, tanah yang telah menjadi rumahnya selama tiga dekade.
Editor : Wahyu Sikumbang
Artikel Terkait
